Rabu, 22 Desember 2010

Ruth Sahanaya, si mungil bersuara dahsyat..



Perempuan yang akrap disapa Uthe ini adalah anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Alfares Edward Sahanaya dan Matheda David yang berdarah Ambon dan Sangir Talaud. Sejak kecil ia gemar menyanyi bahkan sering menjuarai lomba menyanyi. Tapi karier menyanyi baru mulai dilakoninya dengan serius di tahun 1983. Tahun ini tampaknya menjadi tahun yang agak luar biasa buat Uthe dimana ia mengikuti 5 lomba menyanyi dengan mengantongi juara 1 pada dua perlombaan, dan juara 2 pada 3 perlombaan lainnya. Untuk mengembangkan karier menyanyinya Uthe hijrah ke Jakarta, usai menuntaskan pendidikan sekretarisnya di Bandung.

Jakarta sepertinya tempat yang tepat untuk penyanyi Indonesia 80-an ini. Setelah menyabet berbagai penghargaan di berbagai lomba tingkat nasional maupun internasional (salah satunya adalah Live Music Concert di Kuala Lumpur Malaysia), Uthe dilirik PT Aquarius Musikindo. Album pertamanya, "Seputih Kasih" (1987) langsung meledak di pasaran. Begitupun ketika album keduanya, "Tak Kuduga" (1989) diluncurkan langsung mendapatkan sambutan positif dari penggemar musik tanah air. Lagu-lagunya yang menjadi hit pada masa itu diantaranya Tak Kuduga, Amburadul, September Pagi (duet dengan Harvey Malayholo), Astaga, Selamanya, dan Ada.

Sekalipun era 80-an Ruth Sahanaya tidak banyak menelorkan album, namun suaranya yang jernih  berpower ikut mewarnai blantika musik tanah air pada masa itu. Nan tentu saja kepiawaiannya menyanyi di panggung-panggung festival juga telah menjadikan era 80-an sebagai fondasi bagi penyanyi mungil ini dalam menapaki dekade2 berikutnya.

Jumat, 03 Desember 2010

Berbalada bersama Ebiet G Ade



Namanya mulai dikenal publik musik pada akhir 70-an saat ia menelorkan album pertamanya, Camelia. Tiga album bertajuk sama ia luncurkan hingga awal tahun 80-an. Ini semakin memantapkan karirnya di dunia musik. Bahkan awal 80-an ini menjadi masa keemasan Ebiet

Laki-laki yang terlahir dengan nama Abid Ghoffar ini merupakan anak termuda dari 6 bersaudara, buah cinta pasangan Aboe Dja'far, seorang PNS, dan Saodah, seorang pedagang kain di Wanadadi, Banjarnegara, jawa Tengah. Nama Ebiet didapatnya dari seorang guru kursus bahasa Inggrisnya semasa SMA. Sang guru yang orang asing tanpaknya mengalami kesulitan memanggil Abid, jadilah penyanyi Indonesia 80-an terbiasa dengan nama itu. Begitu pun teman-teman dan lingkungan sekitarnya. Nama ayahnya digunakan sebagai nama belakang, disingkat AD, kemudian ditulis sesuai bunyi penyebutannya, sehingga jadilah nama Ebiet G Ade.

Masa muda Ebiet dilewatkan di lingkungan seniman muda Yogyakarta. Malioboro menjadi semacam rumah baginya, rumah tempat Ebiet terasaha kemampuannya. Motivasi terbesar yang membangkitkan kreativitas penciptaannya adalah ketika bersahabat dengan Emha Ainun Nadjib (penyair), Eko Tunas (cerpenis), dan E.H. Kartanegara (penulis). Meski bisa membuat puisi, ia mengaku tidak bisa apabila diminta sekedar mendeklamasikan puisi. Maka upaya yang kemudian dilakukannya adalah melagukan puisi tersebut atau musikalisasi puisi. Atas dorongan teman-temannya, Ebiet akhirnya mencoba menjangkau dunia rekaman. Setelah beberapa kali gagal, pada tahun 1979 Jackson Record menerimanya. Sembilan album berhasil diluncurkannya bersama perusahaan rekaman ini hingga 1986 ketika Jackson Record tutup produksi. Lagu-lagunya yang sempat berjaya pada masa itu antara lain Elegi Esok Pagi, Lagu Untuk Sebuah Nama, Masih Ada Waktu, Nyanyian Rindu, Titip Rindu Buat Ayah, dan Untuk Kita Renungkan. Pada masa ini juga Ebiet meraih sejumlah penghargaan seperti Golden dan Platinum Record dari  Jackson Record dan label lainnya, menjadi Biduan Pop Kesayangan PUSPEN ABRI, Pencipta Lagu Kesayangan Angket Musica Indonesia, Penghargaan Diskotek Indonesia, terpilih menjadi salah satu dari 10 Lagu Terbaik ASIRI, meraih Penghargaan Lomba Cipta Lagu Pembangunan.

Ebiet sempat merilis 3 album dengan menggunakan bendera perusahaan rekaman sendiri sebelum ia memutuskan mengambil waktu jeda pada tahun 1990. Lima tahun berikutnya ia kembali meramaikan blantika musik Indonesia dan menghadirkan nuansa baru dalam bermusiknya dengan berkolaborasi dengan musisi-musisi tanah air lainnya.

sumber: wikipedia

Senin, 15 November 2010

Nicky Astria, Sang Lady Rocker

Nicky Astria mengawali karir bermusiknya di blantika musik nasional pada usia 17 tahun. Namun lewat album pertamanya yang bertajuk Semua Dari Cinta tersebut Nicky belum mampu menembus minat pecinta musik tanah air. Meski demikian album inilah yang mempertemukan perempuan bernama lengkap Nicky Nastitie Karya Dewi ini dengan musisi rock tanah air seperti Ian Antono, Jelly Tobing, dan Dodo Zakaria.

Lewat tangan-tangan ajaib merekalah kemampuan Nicky terasah hingga menelorkan album keduanya: Jarum Neraka pada tahun 1985. Lewat album dengan penata musik Ian Antono inilah Nicky mulai dikenal publik sebagai lady rocker, menambah jumlah penyanyi rock perempuan yang sudah dikenal sebelumnya yakni Euis Darliah, Renny Jayusman dan Sylvia Sartje. Nicky yang ketika itu paling muda, dengan karakter vokal yang kuat, dan di bawah garapan Ian Antono, jadilah mojang Bandung ini kemudian merajai blantika musik tanah air pada era Indonesia 80-an itu.

Lagu apa saja yang Anda suka dari si teteh ini? Bisajadi banyak :) Saya pilihkan beberapa diantaranya: Biar Semua Hilang, Bias Sinar, Mata Lelaki, Uang, dan Remang-remang Dirimu.

Simak juga videonya :)

Rabu, 03 November 2010

Dian Pramana Poetra, sang penyanyi jazz kita


Dekade 80-an dapat dibilang sebagai masa keemasan Dian Pramana Poetra. Begitu banyak lagu yang beredar pada masa ini adalah ciptaannya, baik dinyanyikan sendiri, bersama Deddy Dukun (2D), K3S, dan 7 Bintang, atau dibawakan penyanyi lain seperti Vina Panduwinata, January Christy, dan Malyda.

Awalnya adalah Lomba Cipta Lagu Remaja (LCLR) Prambors 1980 ketika lagu karya Dian masuk 10 Tembang Cantik. Saat itu ia diminta untuk menyanyikan sendiri lagu tersebut. Meski tidak pernah yakin akan kemampuannya bernyayi, Dian setuju saja disuruh menyanyi. Ternyata keraguannya tidak beralasan. Pria yang lahir dari pasangan penyanyi keroncong ini pun diakui sebagai penyanyi dan menyemarakkan blantika musik Indonesia 80-an.

Dian telah mengakrabi dunia musik sejak ia belia. Bukan saja karena sering mendengar ayah ibunya berlatih menyanyi dan memainkan gitar, tapi karena ia juga gemar mendengarkan lagu-lagu standar seperti Nat King Cole, Mat Monroe, dll.

Pada masa SMA Dian bergabung dengan vokal grup sekolahnya (SMAN 37 Jakarta). Bersama Boures Vokal Grup inilah Dian sangat aktif mengikuti festival VG dan kerap jadi juara pertama. Tak ayal, VG inipun jadi langganan tampil di TVRI sepanjang tahun 1978-79. Di VG ini Dian tak hanya menyanyi tapi ia juga mengaransemen lagu-lagu yang akan dibawakan.

Disinilah kemampuannya bermusiknya semakin terasah karena ia harus mempelajari harmoni vokal dan not. Dari situ Dian mulai terpikir untuk membuat lagu hingga berhasil lolos dalam LCLR, ajang yang semakin mengakarabkannya dengan Bagoes AA yang dikenalnya saat aktif di VG.

Adalah Billy J. Boediardjo, nama yang kemudian sangat berpengaruh terhadap karir bermusik Dian. Pria kelahiran Medan, 5 April 1962 ini bukan hanya belajar musik pada Billy namun juga mendapatan kesempatan untuk masuk dapur rekaman. Album pertama Dian bertajuk Indonesian Jazz Vokal di bawah perusahaan rekaman Jackson Record. Saat menggarap album inilah ia bertemu dengan Deddy Dhukun.

Diantara saat menggarap albumnya sendiri, Dian berkolaborasi dengan Bagoes AA dan Deddy Dukun (K3S). Pada masa ini ia juga berhasil membuat album solo ketiga bertajuk Kau Seputih Melati yang sekaligus menjadi lagu kojo dari album yang sempat menuai kritik tersebut. Kemudian berdua dengan Deddy Dukun ia membentuk 2D yang berhasil memunculkan imej nama Dian identik dengan Deddy Dhukun. Sebab tak hanya dalam 2D dan K3S mereka bekerja sama namun juga dalam menggarap album penyanyi-penyanyi lain.

Lagu-lagu Dian PP yang cukup dikenal publik antara lain Gadis Di Cafetaria, Melati Di Atas Bukit, Gelisah, Kubawa Serta, Paseban Cafe dan Papa Sayang Mama.

Senin, 18 Oktober 2010

Iwan Fals, sang pengelana jalanan



Bicara lagu Indonesia 80-an tidak akan afdol tanpa menyinggung penyanyi bernama lengkap Virgiawan Listanto ini. Sejak kemunculannya pertama kali ia dikenal dengan lagu-lagunya yang bernuansa humor satir seperti Oemar Bakri, Surat Buat Wakil Rakyat, atau Sugali. Ia juga menulis dengan bagus peristiwa dan tokoh seperti pada Ethiopia, 1910, Ibu, dan Bung Hatta. Sementara lagu-lagu cintanya pun terdengar berbeda dibandingkan dengan lagu-lagu cinta pada masa itu. Tengok saja lagu Buku Ini Aku Pinjam, Aku Sayang Kamu, atau Yang Terlupakan.

Lagu-lagu Iwan Fals akrab di telinga. Kita bisa temui di arena demo mahasiswa karena lirik kritisnya masih up to date untuk dikumandangkan di masa bahkan jauh setelah lagu-lagu itu populer untuk pertama kalinya. Lagu-lagunya juga sering kita jumpai di terminal-terminal atau kendaraan umum dibawakan oleh penyanyi jalanan alias pengamen. Barangkali karena karena pengalamannya menjadi orang jalananlah yang menjadikannya semacam patron bagi para pengamen. Iwan mengaku dibesarkan di jalanan. Ia ngamen sejak masih sekolah di bangku SMA Bandung, dari rumah ke rumah, dari restoran ke restoran, dari warung tenda ke warung tenda, dari pasar ke pasar. Berbekal gitar dan harmonika ia mengamen tak pilih-pilih tempat. Dilarang keras mengamen oleh kedua orang tuanya, Iwan jalan terus bahkan ketika ia sudah sukses menjadi penyanyi. Ia baru berhenti mengamen ketika anak keduanya ,Cikal Rambu Basae lahir tahun 1985.

Pada periode 80-an Iwan Fals terhitung produktif. Tiap tahun ia mengeluarkan album bahkan ada yang lebih dari satu album. Mulai dari Opini (1982), Wakil Rakyat (1982), Sumbang (1983), Barang Antik (1984), Sugali (1984), Sore Tugu Pancoran (1985), Tampomas, Nenekku Okem, Ethiopia (1986), Aku Sayang Kamu (1986), Lancar (1987), 1910 (1988) hit Buku Ini Aku Pinjam, Antara Aku dan Bekas Pacarmu (1989), Mata Dewa (1989). Selain itu ia juga berkolaborasi dengan penyanyi dan musisi lain seperti KPJ (Kelompok Penyanyi Jalanan), Swami, dan Kantata. Ia juga sempat membuat rekaman bersama Jockie Suryoprayoga dan Vina Panduwinata serta bersama Rafika Duri.


Lihat juga yang ini: 22 Januari (Sarjana Muda-1981)

Minggu, 03 Oktober 2010

Andi Meriem Mattalatta, mutiara cantik dari Ujung Pandang





Si cantik dari Ujungpandang. Tak salah lagi, Andi Meriem Mattalatta. Penyanyi satu ini selain cantik juga dikenal dengan sikap santunnya, dalam berbusana maupun bertutur kata dan kesederhanaannya. Tak heran kalau banyak yang merasa kehilangan begitu dikabarkan ia meninggal dunia pada 4 Juni 2010 lalu.

Nama lengkapnya Andi Sitti Meriem Nurul Kusumawardhani Mattalatta. Lahir pada 31 Agustus 1957 dari keluarga berada.
Ayahnya, Mayjen (purn) Andi Mattalatta adalah orang yang terpandang di Sulawesi Selatan. Ia memiliki andil besar dalam pembangunan Stadion Mattoanging Makassar dan pengembangan dunia olahraga di Sulawesi Selatan. Namanya diabadikan sebagai nama stadion Sulsel tersebut, yaitu Stadion Andi Mattalatta Mattoanging, Makassar. Penyanyi Indonesia 80-an melewati masa kecil dan sekolahnya di tanah kelahirannya, Makasar. Ia mulai menyanyi ketika masih duduk di kelas 5 Sekolah Dasar. Pada tahun 1970 berhasil mendapatkan posisi juara I lomba menyanyi pop se-Ujungpandang. Kemudian ia masuk sebagai 10 finalis dalam lomba nyanyi pop se-Indonesia di tahun 1973. Namun nama Andi Meriem mulai muncul ke permukaan dunia musik nasional setelah tampil dalam rekaman pertamanya Mutiara Dari Selatan ciptaan Iskandar. Nama ini disebut-sebut sebagai guru Andi Meriem dalam seni suara.

Setelah hijrah ke Jakarta dan masuk dapur rekaman, banyak musisi dan penyanyi tanah air yang ambil bagian seperti
Fariz RM pada lagu Hasrat dan Cinta, Dadang S Manaf untuk lagu Hasrat yang dinyanyikannya duet Bob Tutupoly, juga Oddie Agam yang menulis beberapa lagu untuknya seperti Lenggang Jakarta. Nama-nama lain seperti Guruh Sukarno Putra Ryan Kyoto, Junaedi Salat, Sam Bimbo, dll turut memberikan andil dalam penggarapan album-album Andi Meriem dan menyuguhkan lagu-lagu yang cukup akrap di telinga kita seperti Bimbang, Januari Yang Biru, Janji, Rela, dan Lembah Biru. Lagu-lagu melow namun tidak terkesan cengeng. Sayangnya suara yang lembut mendayu itu tidak akan kita dengar lagi muncul dengan lagu baru.

Selasa, 21 September 2010

Utha Likumahua, aku tetap cinta


Dia menjadi salah satu kekayaan Indonesia dalam bidang musik. Utha Likumahua, laki-laki yang datang dari gudangnya penyanyi bersuara emas, Ambon ini telah terjun ke dunia tarik suara sejak dekade 70-an. Sejumlah hits telah dilahirkan oleh penyanyi Indonesia era 80-an ini, seperti 80-an seperti Aku Tetap Cinta, Masih Ada Waktu, Akira, Adakah, Biru Selintas Rindu, Esok Kan Masih Ada, dan Puncak Asmara. Kini Utha memilih lebih banyak aktif dalam pelayanan Tuhan.

Minggu, 05 September 2010

Atiek CB, anak band Child Brothers


Dia dikenali dengan kaca mata hitam dan poni yang dibiarkan menutupi wajahnya ketika bernyanyi. Yup, dialah Atiek Prasetyawati, penyanyi Indonesia 80-an asal Kediri, Jawa Timur yang sudah mengasah vokalnya sejak usia belasan tahun. Selain mengisi acara di TVRI Surabaya, Atiek juga menjadi vokalis band lokal, CB (Child Brothers) Band dan menobatkan namanya menjadi Atiek CB. Dalam program Zona 80 Metro TV , Atiek juga menceritakan tentang sejarah kacamatanya. Rupanya trade mark kacamata itu berawal saat pemotretan album Transisi. Farid Harja yang sedang di lokasi meminjaminya kaca mata. Alhasil sejak saat itu kacamata tidak pernah lepas dari wajah Atiek di panggung.

Sejak hijrah ke Jakarta Atiek berhasil menelurkan sejumlah album, baik solo, grup (Rumpies), maupun kolaborasi (7 Bintang). Lagu-lagunya yang terkenal pada era 80-an antara lain: Ilusi Pagi, Optimis, Terserah Boy, Risau, Bebaskan, dan Antara Anyer dan Jakarta.

Setelah berpisah dengan suaminya, Ronny Sianturi, salah satu personil dari grup musik Trio Libels, Atiek CB hengkang
ke negeri Paman Sam, menikah dan tinggal di sana bersama suami keduanya serta anak-anaknya.

Klik juga disini

Sabtu, 28 Agustus 2010

Fariz RM, si pemusik sejati



Inilah dia musisi dan penyanyi Indonesia 80-an yang sepertinya seumur-umur bermusik. Fariz Rustam Munaf atau Fariz RM. Ia menguasai hampir semua alat musik standar dikuasai, ditambah dengan beberapa alat musik tradisional. Tidak mengheranan karena memang Fariz mulai mempelajari musik sejak usia belia, 5 tahun. Persentuhan pertamanya adalah piano klasik dengan pengajar sang ibu sendiri yang memang seorang guru les piano. Fariz kecil mewarisi bakat bermusik dari kedua orang tuanya, ibunda Hj Anna Reijnenberg dan ayah H Roestam Moenaf yang adalah seorang penyanyi bintang di RRI Jakarta.

Tahun 1977 merupakan tahun dimana Fariz mulai muncul ke ranah publik dengan mengikuti Lomba Cipta Lagu Remaja Prambors. Tidak atas nama perorangan melainkan vokal grup sekolah yakni SMA 3 Jakarta, bersama teman-temannya yang kemudian juga dikenal di blantika musik tanah air, Raidy Noor, Ikang Fauzi, dan Erwin Gutawa. Tidak tanggung-tanggung, dua lagu ciptaannya terpilih sebagai pemenang. Sejak itulah nama suami Oneng dan ayah tiga anak - Venska, Venski dan Geo- ini mulai dikenal kalangan musisi. Ajakan bergabung atau mendirikan grup baru mulai berdatangan. Adalah Badai Band, Wow, dan Shympony, tiga nama dari banyak grup yang pernah dimasukinya.

Kehandalan Fariz dalam menulis lagu mengolah musik semakin diakui. Tawaran untuk menggarap album, mencipta lagu, membuat jingle iklan, atau membuat ilustrasi musik film pun mulai terbuka lebar. Sakura Dalam Pelukan, Namarina, Tumirah Sang Mucikari adalah contoh kecil dari sekian banyak film yang pernah digarapnya.

Dalam lebih dari tiga dekade berkarya, Fariz telah menelorkan sejumlah hits seperti Sakura (yang merupakan soundtrack film Sakura Dalam Pelukan), Di Antara Kata, Barcelona, Interlokal, Susi Belel, Sandra Ameido. Juga duetnya bareng Norma Younita (Pandang Matamu) dan Neno Warisman (Sebuah Obsesi dan Nada Kasih). Lagu-lagu tersebut terekam dalam 15 album solo dan lebih dari 84 album kolaborasi itu yang pernah dihasilkannya.

Senin, 09 Agustus 2010

Chrisye, sang legenda yang mampu menembus segala usia


Chrisye tidak dapat dibilang penyanyi generasi penyanyi Indonesia 80-an, karena dia muncul jauh sebelum era 80-an. Namun jika menyebut musisi tanah air, namanya ada di jajaran atas karena ia bukan hanya berkarya di era 70 dan 80-an, bahkan namanya dan masih berkibar hingga abad 21.

Mengawali kariernya pada tahun 1967 Chrisye bergabung dengan keluarga Nasution di Komunitas Gank Pegangsaan. Selama setahun ia menjadi bassis dan vokalis pada band Sabda Nada. Berikutnya ia bergabung dengan Gipsy Band (1969-1974), Band The Pro's (1974-1975), dan Badai Band (1979-1980). Dalam kurun waktu tersebut Chrisye sempat dikontrak untuk bermain di New York selama 2 tahun. Bintang Chrisye mulai bersinar di seantero negeri saat ia diminta oleh Prambors untuk menyanyikan lagu Lilin Lilin Kecil karya James F. Sundah dalam Lomba Cipta Lagu Remaja. Lagu tersebut tidak menjadi pemenang namun menjadi lagu yang hits pada masa itu. Selain itu juga didukung oleh keberhasilan film Badai Pasti Berlalu yang soundtracknya digarap oleh Jockie Surjoprajogo dan Eros Djarot dan disuarakan Chrisye.


Yup, dialah sang legenda yang mampu melintasi sekian panjang perjalanan waktu. Dan 80-an adalah salah satu lintasan waktu yang pernah dilaluinya. Bukan hanya selewat lintas namun juga mengindap lindap dan menyisakan kenangan bagi penikmat musik tanah air. Ada 11 album yang diluncurkan dalam satu dekade, awal hingga akhir 80-an. Dari ke-11 album tersebut banyak lagunya yang menjadi hits, diantaranya Puspa Indah, Galih dan Ratna, Lagu Putih, Resesi, Di Batas Akhir Senja, Malam Pertama, Aku Cinta Dia, Hura Hura, Nona Lisa, Kisah Cintaku, dan Pergilah Kasih.
Sementara jika dihitung sejak akhir 60-an berkarya, Chrisye telah menghasilkan 20 album dan lima single.

Berbagai penghargaan pernah diraihnya di antaranya adalah Penyanyi Legendaris BASF (1994), Penyanyi Pop Pria Terbaik versi Anugerah Musik Indonesia (1997), Penyanyi Solo Pria Terbaik kategori Pop, Penyanyi Rekaman Terbaik versi Anugerah Musik Indonesia pada lagu Kala Cinta Menggoda (Guruh Soekarno Putra) pada 1998.
Meski dianggap tidak berbakat menjadi aktor, pria kelahiran 16 September 1949 ini sempat membintangi film Seindah Rembulan dan sebagai bintang tamu di Gita Cinta Dari SMA. Keduanya dirilis tahun 1981.

Pada tanggal 31 Juli 2005, Chrisye harus menjalani rawat-inap di rumah sakit di Singapura karena divonis mengidap penyakit kanker paru-paru stadium akhir. Penyakit inilah yang memaksa ayah empat anak ini keluar masuk rumah sakit dan harus istirahat total hingga ia menghembuskan nafas terakhir pada 30 Maret 2007.


dari berbagai sumber

Sabtu, 31 Juli 2010

Harvey Malaiholo, sang macan festival


Laki-laki bernama lengkap Harvey Benjamin Malaiholo ini mengawali kariernya di dunia tarik suara sekitar tahun 70-an. Sebelum menjadi penyanyi Indonesia 80-an yang diperhitungkan, ia harus berjuang diantara penyanyi pendahulunya seperti Broery Marantika, Mergie Segers, Trio Bimbo, Dedy Damhudi dan Anna Mantovani, akhirnya popularitas berhasil ia dapatkan pada tahun 1976 saat ia menggondol piala juara pertama Bintang Radio & TV.

Sejak itu berbagai festival menjadi ajang penguji kehandalan bernyanyi pria berdarah Maluku ini. Saking seringnya menjuarai berbagai festival, Harvey Malaiholo sempat mendapat julukan ''macan festival''. Puluhan penghargaan sebagai penyanyi nomor satu lewat festival ia sandang. Diantaranya tampil sebagai “The Best Performer” pada Golden Kite Festival tahun 1982 di Kuala Lumpur- Malaysia. Di tingkat dunia, Harvey pernah menjadi “The Best Singer” dalam “World Pop Song Festival” di Tokyo Jepang tahun 1986. Bahkan hingga tahun 1999 ia masih dapat menyaingin para penyanyi baru dengan menjadi yang terbaik di ajang The Asian Song Festival di Manila. Prestasi di tanah air pernah ditorehkan sebagai penyanyi terbaik dalam Festival Lagu Pop Indonesia. Tahun 1982 (Lady) mendapatkan predikat terbaik dan mewakili Indonesia ke ajang Festival Lagu Tingkat Dunia di Budokan Tokyo, dan bahkan berhasil mengalahkan Celine Dion yang saat itu berlaga mewakili Perancis. Berikutnya ia mendapatkan kesempatan menang sebanyak 4 kali yakni pada tahun 1986 (Seandainya Selalu Satu), 1987 (Kusadari) 1988 (Begitulah Cinta, duet dengan Vina Panduwinata), dan 1990.

Keaktifannya mengikuti festival rupanya merupakan nasihat kedua orang tuanya. Menurut mereka, penyanyi yang baik adalah yang jebolan festival. Oleh karena itu, Harvey lebih memilih jalur festival untuk jalan menjadi penyanyi. Namun diluar ajang festival ia juga berhasil menelorkan sejumlah album, baik solo yang melahirkan sejumlah hits diantaranya Pengertian, Mau Tak Mau, Kisah Kehidupan, maupun kolaborasinya dengan Ireng Maulana dengan hits diantaranya Dia, Terpana, Dara, serta dengan Titik Hamzah, Resah, yang dibawakannya bersama Tina.

Rabu, 21 Juli 2010

Vina Panduwinata, si Burung Camar



Nama lengkapnya Vina Dewi Sastaviyana Panduwinata, putri seorang diplomat yang lebih banyak menghabiskan masa kecil dan remajanya di berbagai negara mengikuti penugasan orang tuanya. Yup, dialah pemilik suara seksi, Vina Panduwinata. Lahir di Bogor, Jawa Barat, Vina menghabiskan masa sekolah dasarnya di kota hujan tersebut dan di New Delhi, India. SMP dia lewati di Bogor dan Wassenaar, Belanda. Sementara masa sekolah menengah atas, Vina pindah ke Jerman Barat. Disinilah salah satu penyanyi Indonesi era 80-an ini sempat membuat rekaman single di perusahaan rekaman RCA Hamburg, Jerman, Java dan Single Bar (1978) dan Sorry Sorry dan Touch Me (1979).

Saat kembali ke tanah air, wanita berdarah Sunda-Manado-Ambon ini bertemu dengan musisi Mogi Darusman. Mogi langsung tertarik dengan karakter vokal Vina lalu mempromosikannya ke berbagai perusahaan label rekaman. Alhasil tahun 1981 meluncurlah album perdananya bertajuk Citra Biru di bawah label Jackson Record. Perhatian masyarakatpun langsung terpusat pada penyanyi sarat prestasi ini dan Majalah Gadis menganugrahinya sebagai Penyanyi Wanita Terbaik.

Album kedua dirilis setahun kemudian bertajuk Citra Pesona (1982) yang melibatkan pencipta lagu seperti Dodo Zakaria, James F Sundah, plus penata musik Addie MS. Album yang mulai melambungkan nama Vina itu berisi lagu antara lain September Ceria dan Dunia Yang Kudamba. Album ketiga Citra Ceria (1984) pun berhasil merengkuh simpati dengan lagu Di Dadaku Ada Kamu, Duniaku Tersenyum, dan Diantara Kita. Berikutnya, lewat albumnya Burung Camar (1985), namanya semakin mencuat. Lagunya dengan judul yang sama dalam album tersebut menjadi icon dirinya, dengan sebutan 'Vina si Burung Camar'.

Selain menelurkan sejumlah album, Vina juga berhasil menyabet sejumlah penghargaan. Diantaranya Penyanyi pada RCA, Hamburg, Jerman (1978-1979) dan Penampil terbaik pada tiga Festival Lagu Populer Nasional berturut-turut pada tahun 1983 (lagu Salamku Untuknya), 1984 (lagu Aku Melangkah Lagi), 1985 (lagu Burung Camar). Pada tahun yang sama Vina mewakili Indonesia untuk mengikuti Festival Lagu Pop Internasional Tokyo. Di ajang tersebut, wanita kelahiran 6 Agustus 1959 ini mendapat penghargaan sebagai Pembawa lagu terbaik untuk lagu Burung Camar. Masih pada tahun 1985, Vina menjadi Peserta Asia Pacific Broadcasting Union Pop Song Contest di Singapura (1985).

Pada 18 Februari 2006, setelah 25 tahun malang melintang di industri musik Indonesia, Vina menggelar konser tunggal yang bertajuk Viva Vina di Jakarta Convention Center. Pada tahun ini pula AMI memberinya Lifetime Achievement AMI Awards.

dari berbagai sumber